Kumpulan cerita dan motivasi cinta

 photo Untitled-1_zpsfbab08d8.jpg
Powered by Blogger.

Wednesday, February 6, 2013

Panggil saja namaku monic,ini hanya sebagian dari kisah hidupku,terkadang aku berpkir msih adakah cinta untukku dr seorang laki2 yang aku cinta dan aku sayangi,dia biasa2 saja,dia tdk tampan,dia tdk kaya namun aku sadar cinta tak mengenal itu semua.Andai saja
dia tahu berapa berharapnya aku ingin hdup berdmpingan selamanya dengannya,menghabskan hari2ku dengannya namun semua itu terjadi tdk seperti yang aku harapkan,cinta dan sayangku tdk seperti yang aku harapkan melainkan berakhir dg rasa sakit yang ia tingglknDengan berjalannya waktu aku semakin sadar bahwa dia egois,dan apapun yang aku lakukan selalu salah di mata dia,awalnya aku belajar tuk mengerti dia krn ku sadar manusia tdk ada yang sempurna karna ku sadar akupun jauh dari kesempurnaan krn ksempurnaan hanya milik allah semataDan rencana aku menikah dengan dia yg sudah ada di depan matapun harus kandas,pdahal hub aku dengan dia akan menikah sudah di ketahui oleh orang tuaku,teman2ku dan tetangga2u,apa yang akan aku jwb ketika mereka bertanya kenapa aku tdk jadi menikah? Akupun harus siap dengan cibiran orangPada saat aku ptus darinya aku menangis dan merasa tuhan tidak adil,kmudian aku isi hari2ku dg kesibukan yang positif,aku lebih dekat lagi dg allah yg selama ini sudah lama aku jauh darinya,di setiap shalatku tak hentinya aku meminta kepada allah untuk di berikan kesabaran utk menerima semuanya iniDan dengan pertolongan allah lambat laun aku bisa menerima semua ini dan aku yakin allah telah menyiapkn jodoh untukku yang manpu membimbingku di jalan allah,dan aku sadar ini semua sudah kehendak allah,dan kini aku bisa tersenyum kembali meskipun tanpa dia bahkan sekarang aku bias jauh lebih baik tnpa dia,dan aku sadar cinta tak harus memiliki

Seperti biasanya, sepulang dari sekolah, Bela mengajak beberapa temannya untuk mampir ke rumahnya. Mereka pun langsung masuk ke dalam kamar Bella tanpa menemui Ayah Bela yang sedang terbaring lemas di ranjang. Lalu, Bella memilih kaset dan memasukkannya ke
dalam tape radio serta menyetelnya dengan suara yang cukup keras. Mereka sangat menikmati musik tersebut tanpa mempedulikan ayah Bella yang sedang sakit. Karena tak tahan dengan kelakuan Bella dan teman-temanya, Ganis, kakak Bella pun keluar dari kamar ayahnya dan menuju ke kamar adiknya itu. Pintu kamar yang tak terkunci itu pun langsung didorongnya dengan wajah kesal.

“Bella!! Kecilin suara musiknya dong!! Ayah kan lagi sakit! Sudah pulang enggak salaman dulu sama ayah, sekarang kamu malah buat kegaduhan!”, bentak Ganis.

"Dia itu bukan ayah kita, kak! Lagi pula, dia aja enggak protes, kok malah kakak sich yang protes!?”, sahut Bella melawan bentakan Ganis.

"Kakak tahu! Dia memang bukan ayah kandung kita, tapi dia sudah lama tinggal sama kita dan berusaha untuk menjadi ayah tiri yang baik. Jadi, kamu harus menghormati dia juga dong Bel!!", kata Ganis menasehati adiknya.

"Ayah kamu lagi sakit, Bel? Pantasan, tadi dia enggak ngajar matematika. Kok, kamu enggak bilang sich Bel?! Kita jenguk ayah kamu aja yuk!?", sela seorang teman Bella.

"Jenguk aja sendiri!!", tolak Bella langsung mengusir teman-temannya dan mengunci rapat pintu kamarnya.

"Bella!! Kamu kok gitu sich!? Jangan egois dong!!", tambah teman Bella yang lainnya.

"Biarin aja! Udah sana, kalian jenguk aja tuh guru kesayangan kalian! Aku mau sendirian aja di kamar!!", bentak Bella.

Tak terdengar balasan dari balik pintu kamar Bella yang terkunci. Ganis beserta teman-teman Bella pun berjalan menuju kamar ayah tanpa mempedulikan Bella.

Pukul 20.00 WIB, waktunya makan malam bersama di rumah Bella. Namun, Bella enggan keluar dari kamarnya. Sudang dipanggil berkali-kali, ia tetap saja mengurung diri di kamarnya. Ini memang sudah menjadi kejadian yang lumrah di rumah Bella. Semenjak ayah kandungnya meninggal meninggal dunia dan digantikan oleh ayah tirinya dua tahun yang lalu, sikap dan sifat Bella menjadi berubah. Ia tak mau mengganggap ayah tirinya sebagai ayah, apalagi untuk memanggil "Ayah", terasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Padahal, ayah tirinya bukan monster seperti yang ada di televisi-televisi. Ayah tirinya termasuk orang yang baik dan sabar dalam menghadapi tingkah laku Bella.

"Kok, enggak dimakan Yah?”, tanya Ganis yang mendapati ayahnya sedang termenung meratapi makanan yang ada di piring.

"Ayah mau nunggu Bella, Nis", jawab ayah dengan suara parau. “Bella enggak akan keluar Yah! Udah, ayah makan duluan aja ya?! Nanti, kalau dia udah mulai kelaparan juga keluar sendiri”.

“Iya, ayah makan aja duluan. Biar cepat sembuh. Nanti, makanan Bella biar bunda yang antar ke kamarnya”, tambah bunda.

Mereka pun melahap santapan makan malam tanpa kehadiran Bella. Seusai makan malam, bunda mengantar makanan ke kamar Bella.

“Bella . . . ini bunda antarkan makan malam kamu. Kamu pasti sudah laparkan?”. Tak terdengar sedikit jawabanpun dari mulut Bella.

Aku ambil makanannya enggak ya?? Malas akh!! Nanti aku ambil sendiri aja di ruang makan. Pokoknya, kalau aku lagi marah, enggak boleh tanggung-tanggung, harus seharian. Kalau perlu sampai besok! Biar om-om itu nyadar, kalau kehadirannya di sini cuma ngerepotin keluarga aku.

“Bella!?”, seru bunda.
“Aku udah kenyang bun! Aku enggak mau makan!”.
“Ya sudah”, sahut bunda singkat.

Sekitar tengah malam, perut Bella mulai keroncongan. Bella pun mengendap-endap keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Dibukanya tudung saji yang tertutup rapi, namun hanya terdapat nasi dan telur dadar. 

“Lauknya kok cuma telur dadar sich? Bunda enggak masak atau lauk yang lainnya udah pada habis . . .?!”, tanya Bella pada dirinya sendiri.

“Kamu lapar juga, Bel!?”, kaget bunda dari belakang. “Udah enggak!! Habis, lauknya cuma telur dadar sich!!”. “Bunda tadi enggak sempat masak, Bel. Soalnya, bunda harus jagain ayah kamu. Tadi, suhu tubuhnya tinggi lagi. Lagi pula, uang bunda sudah tinggal sedikit”, ujar bunda.

“Dia lagi-dia lagi!! Heran ya, kok pada ngebelain dia semua sich?! Dipelet kali ya!!?? Lagian, sakit-sakitan terus sich!! Jadinya ngabisin uang bunda dech! Kalau jadi guru honorer tuh, harus rajin ngajar! Jangan tiduran mulu!!”, ejek Bella.

“Bella!! Kalau ngomong tuh dipikir-pikir dulu ya!? Jangan asal nyeplos aja!!”, bentak bunda.

Bella pun berlari meninggalkan bundanya menuju kamar dan membanting pintu kamarnya dengan sekuat tenaga. Bunda sudah tidak tahu harus bagaimana lagi menasehati putri bungsunya itu. Seisi rumahpun terkejut mendengarnya. Ganis langsung keluar dari kamar dan menghampiri bunda. Bunda menangis dalam dekapan Ganis.

“Udah, bunda jangan nagis lagi ya . . . ?! Bunda kan tahu sendiri bagaimana sikap Bella sekarang ini. Dia udah enggak seramah dulu lagi. Berubah drastis bun . . .”, kata Ganis.

Bunda melepas dekapan itu. “Ya sudah, bunda mau mengecek kondisi ayah kamu lagi ya . . .?!”.
"Iya"
Kemudian, bunda dan Ganis pun kembali ke kamarnya masing-masing.

“Bella marah-marah lagi ya, Bun? Pasti gara-gara ayah. Saya memang bukan ayah yang baik buat Bella. Saya sudah merepotkan kamu. Besok, saya akan mengajar lagi. Saya tidak mau kalau gaji kamu habis untuk membeli obat saya”, kata ayah dengan suara pelan.

“Ayah enggak boleh bilang kayak gitu. Lebih baik ayah istirahat dulu, mengajarnya cuti saja”. “Besok saya tetap akan mengajar”, kata ayah mantap.

Tiga hari sudah, ayah tidak mengajar matematika di SMU di mana Bella bersekolah. Setelah kejadian semalam, ayah pun memaksakan diri untuk pergi mengajar, walau kondisi kesehatannya belum pulih benar, saat mengajar di kelas Bella, Bella menunjukkan paras yang tidak senang atas kehadiran ayah tirinya itu. Bella memang tak pernah memperhatikan ayahnya ketika menjelaskan pelajaran. Sepulang sekolah, Bella mencoba menyetir mobil milik temannya di jalan yang cukup sepi. Kerena belum terbiasa menyetir mobil, pandangan mata Bella kurang fokus ke depan. Tiba-tiba ada seorang bapak sedang melintas menggunakan sepeda motor butut. Bella yang menyetir sambil berbicang-bincang dengan teman-temannya itu, tiba-tiba hilang kendali dan akhirnya,

PLASH..... sepeda motor itu ditabraknya. Bella dan teman-teman pun keluar dari dalam mobil. Mulut Bella bagai gawang yang kebobolan bola. Ia terkejut, ternyata orang yang ditabraknya tak lain adalah ayah tirinya sendiri. Bella panik bukan main dan langsung melarikan diri.

"Bella!! Dia ayah kamu! Kamu harus bawa dia ke rumah sakit, Bel!!”, teriak salah seorang teman Bella.

“Aku takut!! Nanti kalau aku ditangkap polisi gimana?!”.

“Bel, kamu harus tanggung jawab dong! Dia itu ayah kamu, Bel!! Kamu enggak akan ditangkap polisi kalau kamu bawa dia ke rumah sakit!”.

“Dia bukan ayah aku!! Aku enggak mau bawa dia ke rumah sakit!”, tolak Bella.

“Dia emang bukan ayah kandung kamu! Tapi dia tetap ayah yang harus kamu sayangi, Bel . . . Dia mungkin juga bukan ayah yang terbaik bagi kamu, pti dia udah berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu dan keluarga kamu! Kami ngeliat ketulusan dari mata dia kok, Bel! Kalau beliau itu sayang sama kamu. Dia ayah kamu! Dan dia juga guru kita! Kalau dia enggak tertolong lagi, kita enggak bisa ngerasain enaknya belajar matematika lagi, Bel! Sadar dong Bel!!”, nasehat temannya.

Mendengar nasehat temannya itu, hati Bella luluh. Di lubuk hatinya yang terdalam, di memori pikirannya yang jauh, Bella memikirkan kebaikan ayah tirinya itu. Dari kesabarannya, kebaikannya, keikhlasannya, dan ketabahannya dalam menghadapi Bella. Dengan cpat, Bella dan teman-temannya membawa ayah ke rumah sakit terdekat. Bella langsung menghubungi bunda dan kakaknya. Bunda, Bella, Ganis, dan teman-teman Bella khawatir dengan keadaan pasien itu. Dokter pun langsung menangani ayah dengan serius. Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruangan untuk memberitahu keadaan ayah. Dan ayah pun sudah tersadar. Mereka semua masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk ayah. Bella berlari dan memeluk hangat tubuh ringkih ayahnya seraya meneteskan air mata yang sempat tertahan di bola mata indahnya.

“Maafin Bella ya, Yah!? Bella enggak sengaja nabrak ayah”, jujur Bella.

Bellla yang awalnya tidak mau bercerita dengan keluarganya, akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Awalnya, bunda ingin mengusir Bella, namun ayah mencegahnya.

“Bel, ayah senang . . . kamu sudah bisa panggil saya ayah. Ayah ikhlas ditabrak kamu, asalkan akhirnya kamu bisa menerima dan panggil saya dengan sebutan ayah”. Sebegitu besarnya pengharapan ayah kepadaku!? Aku emang jahat banget ya!?  kata Bella dalam lubuk hatinya.

“Ayah harus lekas sembuh, ya!? Biar bisa ngajar matematika lagi”.
“Iya, nak . . .”.

Bella seperti tak ingin lepas dari pelukan ayahnya itu,. Bunda dan Ganis pun memeluk ayah dan Bella. Tak lama berpelukan, Bella pun melepaskan diri dari dekapan keluarganya itu.

“Bella janji, Bella akan panggil ayah sekarang dan sampai kapan pun juga. Aku udah lama enggak ngucapin kata ayah. Aku kangen sama sosok seorang ayah. Maafin Bella ya, Yah!?”.

“Kamu enggak perlu minta maaf. Ayah sayang sama kalian. Ayah akan berusaha untuk menjadi seorang ayah yang terbaik buat keluarga ini, khususnya untuk kamu dan kakak kamu. Walau mungkin, ayah enggak akan pernah bisa untuk menggantikan ayah kandung kalian”. Bella dan Ganis menjabat erat tangan ayahnya.

“Bella sayang sama ayah. Maafin Bella, Yah!?”, ucap Bella sekali lagi.
“Kami juga sayang sama pak guru!! Hehehehehe . . .”, tambah teman-teman Bella.

Ayah dan bunda hanya tersenyum lega. Akhirnya, Bella tersadar juga, bahwa betapa sabarnya sang ayah untuk menantinya menyambut ayah tirinya. Sekarang dan seterusnya, Bella akan memanggil “ayah” kepada ayah tirinya dan hidup bahagia bersama keluarganya. Wala memang, ayah itu bukan ayah kandungnya.

“Sekali lagi, maafin Bella, Yah!?!”. 

Bintang berdiri di atas bukit dengan sepedanya.Dia meremas-remas tangannya yang disertai keringat dingin. “Darrr..... “Hayo lama banget ya gue ?”. Carissa tersenyum meminta maaf.Bintang merebahkan tubuhnya di pohon besar dan Carissa pun mengikutinya. Mereka
berdua sama-sama mendongak ke atas langit dan berbicara kepada diri mereka masing-masing. Akankah nanti mereka pergi dari dunia ini ?
“Lo lagi inget orang tua lo ya?” Carissa merangkul kepala Bintang.
“Gue takut Ca, gue hanya takut.” Bintang melepaskan satu butir air matanya, dia merindukan orang tuanya.
“Gue sayang lo Bintang, gue udah anggep lo jadi ade gue sendiri.Kita ini saudara,sahabat,keluarga, lo inget itu?” Carissa menatap Bintang lekat-lekat.
“Makasih Ca.” Mereka pun berpelukan dan Bintang menumpahkan air matanya, untuk kerinduan akan orang tuanya, kesendiriaannya, dan semua kekosongan yang ia rasakan.
Mereka pulang menenteng sepeda masing-masing.Bintang merasa lega karena ia telah menangis, menumpahkan segalanya.
“Bintang lo cerita dong, lo udah janji bakal bilang siapa cowok yang lo suka.”
“Lo dulu aja Ca.” Bintang menyeringai, meminta dan memohon kepada Carissa.
“Lo dulu ah.” Carissa mengelak.
“Lo dulu Ca, entar abis lo baru gue, janji deh.” Bintang berusaha meyakinkan Carissa.
“Oke. Gue suka sama Mario, gue bener-bener suka sama dia. Bukankah gue pernah bilang?”
Bintang terdiam, bukankah itu yang akan dikatakannya? Kenapa harus keduluan oleh Carissa? Lalu bagaimana?
“Bintang lo denger kan?”
“Iya.”
“Gue suka sama Mario.Dia sering senyum ke gue, entah gue yang geer atau ngga tapi gue suka sama dia.”
“Oh.”
“Kalo lo suka sama siapa?”
“Gue gak tahu.”
“Kok lo gitu sih, lo kan udah janji sama gue, lo ga boleh tertutup gitu dong.”
“Gue suka sama ............’’
“Sama siapa?”
“Sama siapa ya ..... ’’
“Siapa namanya?”
“Gue gak tahu namanya.”
“Udah Bintang, gue tau ko lo suka sama Doni kan?”
Bintang menganngguk pelan dengan ragu dan menatap wajah sahabatnya yang sedang gembira. Oh Tuhan ... kenapa harus Doni , kenapa harus dia yang terlibat?Bintang mengumpat dalam hati.
“Lo harus bantu gue biar dapetin dia.”
“Gue harus gimana?”
“Lo harus terus deketin dia, ngulik tentang dia.”
“Hm ... ‘’’
“Lo lakuin buat gue yah ?”
“Ya.”
“Gue juga bakal lakuin hal yang sama.”
“Apaaaaaaa?”
*
Bintang masuk ke dalam rumahnya, dia meletakan sepedanya dengan asal di perkarangan rumah.Dia enggan untuk mengembalikannya ke dalam garasi mobil.Bintang langsung menuju kamarnya, meyalakan lampu dan duduk di depan jendela. Gerimis sudah menyapanya sore ini, meski ia tak merasakannya tapi ia menikmatinya di dalam kamarnya. Akhir-akhir ini sering turun gerimis atau hujan sepanjang malam. Tapi dia lebih meyukai gerimis dan pelangi sehabis hujan. Bintang melihat kompleks perumahannya yang berderet memanjang saling menghadap ke jalan. Bintang mengambil buku dan pensil kesayangannya. Dia menulis dan terus menggoreskan isi hatinya dia atas kertas putih itu ..
Tuhan, aku lelah dengan semuanya.Mereka selau bersandiwara di depanku. Apakah mereka tidak merasa bahagia? Lalu aku siapa bagi mereka? Tuhan, mengapa setiap aku menatap matanya aku merasakan kekosongan yang sama? Tapi hati ini sejuk setiap kali dia berada di sampingku. Semua orang tahu bahwa dia adalah cowok yang luar biasa.Dia tampan, pintar, dan populerTapi kadang tatapannya begitu kosong, bahasa tubuhnya begitu dingin dan kaku.Itulah yang kurasakan saat aku duduk bersamanya. Kami memang tak sering banyak bicara, hanya saja sering berbasa basi. Carissa bilang dia menyukainya, lalu kenapa aku juga harus menyukainya? Apa aku bisa masuk ke dalam dunianya? Apakah dia juga selalu merasakan kesenidirian yang selalu aku rasakan selama ini? Aku tidak tahu .. Aku tak ingin tahu...
Bintang merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Dia memeluk gulingnya, lau menoleh ke samping kannanya menatap foto orang tuanya. Mama Papa, jangan tinggalin aku.Carissa, Bude Rini, Opa,Om Roy, kalian orang-orang yang sayang aku, aku juga sayang kalian.
*
Prang........ Tiba-tiba suara itu menghantam telinga Bintang. Bintang terperanjat kaget dan bangun dari tidurnya.Tak perlu waktu lama untuk memikirkan dari mana arah suara itu.Bintang langsung keluar dari kamarnya menuruni tangga dan menuju ruang tamu.Dia melebarkan matanya ketika masih berdiri di anak tangga.Mama Papa? Kenapa mereka? Mengapa Mama menangis? Mengapa Mama mendorong Papa hingga terjatuh? Oh Tuhan .. Ada apa dengan semua ini? Bintang kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.Dia langsung melompat ke atas ranjang dan memeluk gulingnya. Bintang kembali menumpahkan air matanya.
Tuhan mengapa mereka harus bertengkar? Salah apa Papa sehingga Mama harus mendorongnya hingga terjatuh? Tuhan, kenapa Mama menangis? Tuhan .. kenapa Tuhan? Kenapa?
*
Bintang duduk seperti biasa di depan jendela menatap cahaya matahari sore. Dia bosan sendirian, tadi dia melihat papanya pulang dan langsung tidur. Bintang keluar dari kamarnya menjinjing jaket kulitnya dan berpamitan kepada Mbok Rumi untuk pergi sebentar. Mamanya pergi ke luar kota selama satu minggu dan kembali memperkerjakannya pembantunya.
Bintang berjalan di sekitar area kompleks yang sepi. Dia duduk di sebuah ayunan yang di depannya terdapat sebuah danau kecil. Dia bergelayun layaknya saat ia masih jadi anak TK. Tiba-tiba ayunan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan Mario ada di sana.
“Rio lo ngapain di sini?”
“Keliatannya?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Mario tersenyum tipis. Bintang memandanginya dengan teliti, dia selalu mendapat kesan kagum setiap kali memandang wajahnya. Tampan.
“Jalan-jalan yuk?”
“Kemana? Menurut lo bakal hujan gak yo?”
“Paling gerimis doang.”
Bintang tersenyum bahagia. Mereka berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sunyi.
“Mario lo punya adek, punya kakak, atau anak tunggal?”
“Gue anak tunggal, kenapa?”
“Nggak, gue juga anak tunggal. Kalo orang tua lo gimana?”
“Ibu gue seorang dokter gigi, Ayah gue kepala rumah sakit.”
“Oh pantesan gigi lo rapi.” Bintang tertawa.
“Kalo ibu gue punya beberpa hotel di Jakarta, dia seorang bisniswoman, Ayah gue juga Direktur perusahaan.”
Bintang mendongak ke atas langit, menatap langit yang mulai mendung.
“Apa yang lo suka Yo?”
“Apa aja.”
“Pasti lo suka matematika, suka basket, suka musik, dan lo suka apa aja.”
“Kalo lo?”
“Gue suka gerimis, gue suka pelangi, gue suka sastra, gue suka boneka, gue suka bunga, gue suka banyak.”
“Lo gak suka matematika, lo gak suka sejarah .. ’’
“Haha gue gak suka tuh sama semua pelajaran yang ada di sekolah.”
“Lo suka sastra.”
“Tapi gue Cuma suka sastra Prancis, sastra indonesia gue gak terlalu suka selain novel.”
“Gue suka coklat.”
“Gue gak suka coklat, gigi gue udah bolong-bolong.”
Mario mengelus-ngelus kepala Bintang. Bintang kaget dengan apa yang di lakukan Mario kepadanya.
“Ini rumah gue ... “
“Hah ini rumah gue .. jadi rumah kita berhadapan?”
Mario tak menjawab, dia langsung membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Bintang masih terdiam disana dan menatap rumah Mario. Jadi selama ini rumah aku sama Mario satu kompleks dan berhadapan? Oh Tuhan ...
*
Pagi hari Bintang menuruni tangga lengkap dengan seragam dan tasnya. Dia berjalan menuju meja makan dan langsung menyambar roti isi kacang kesukaannya.
Bintang berdiri di pinggir jalan celingukan mencari-cari Mario. Kok selama ini gak pernah ketemu yah? Bintang berdiri selama setengah jam dan hasilnya nihil. Apa dia berangkat subuh kali ya? Bintang berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Dia tak mau terlambat seperti hari kemarin, harus ketinggalan pelajaran dan susah meminjam catetan Mario
*
Bintang duduk di kursinya dan menatap soal-soal yang ada di depannya dengan bingung. Kok susah banget sih soalnya? Bintang menyesali kebodohannya dalam hitungan. Dia menoleh ke belakang memandangi Carissa, ah dia pasti bisa, dia kan pintar.
“Lo gak nyatet materinya.” Mario berucap datar.
“Emang.” Bintang hanya bisa pasrah, dia kembali menatap satu persatu angka-angka di depannya. Rasanya aku mau muntah ....
Kringg.......... bel sekolah berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak berteriak lepas, rasanya seperti sedang merdeka 45.
“Lo kalo mau nungguin gue jangan tunggu di pinggir jalan.”
“Hah apaaa? Siapa juga yang nungguin lo, geer banget sih.”
“Kalo lo mau nyalin matematika, dateng jam 4 ke rumah gue.”
Mario pergi keluar kelas dan memperlihatkan senyum tipis andalannya. Oh Tuhan, sumpah aku gak tahan liat senyumnya.Tiba-tiba Carissa datang menghampiri Bintang untuk mengajaknya pergi ke Mall. Bintang mengiyakan saja karena dia juga bosan berada di rumah asal sampai pukul 4 sore, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima tawaran Mario.
Bintang pergi ke foodcourt di sebuah mall di Bandung. Dia pergi naik taksi bersama Carissa. Biar keren turunnya, kata Carissa menjelaskan saat Bintang menolak untuk naik taksi karena uangnya hanya pas-pasan.
“Oh iya, Mario gimana?”
“Dia baik-baik aja.”
“Maksud gue lo tau apa aja tentang dia?”
“Dia suka Matematika,basket,musik,dan suka coklat.”
“Sama sama penggemar coklat dong.”
“Gue pernah ngobrol sama dia di acara feskal musik. Yah, cuman ngobrol ngalor ngidul gitu, tapi gue seneng.”Gue juga, jawab Bintang dalam hati.
Setelah asyik mengitari mall akhirnya mereka pulang naik angkutan umum yang berbeda. Carissa bertempat tinggal di pinggir jalan raya yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Carissa adalah anak tunggal dari seorang pejabat dengan predikat orang terkaya ke-8 se-indonesia, tentu saja rumahnya mewah dan bertempat di kawasan elit. Sedangkan Bintang hanya bertempat tinggal di area kompleks yang sepi dan sederhana, yang kadang rumah-rumahnya tak berpenghuni semua. Sama seperti rumah Bintang yang setiap harinya terasa kosong lenyap tak bernyawa.
Bintang turun dari angkutan umum dan berjalan menuju area kompleks perumahannya. Dia berjalan sendirian dan sesekali menendang kaleng-kaleng bekas yang ada di bawah kakinya. Tit tit tit tit ... suara klakson sepeda motormengagetkannya.
“Cepet naik.” Mario menatap Bintang dengan tatapan yang tajam. Bintang menurut saja kepada Mario, tak peduli dengan rasa malu yang ada dalam dirinya. Mereka berhenti di depan rumah Mario, lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka begitu saja. Bintang mengikuti kemana Mario melangkah. Dan tibalah di tempat tujuan, yakni kamar Mario.
“Lo belum belajar yang mana aja?”
“Bab 3 gue gak ngerti, bab 5 bab 4 juga sama.”
“Lo ngapain aja di kelas?”
“Gue gak ngerti , hehe ...”
Mario menyuruh Bintang duduk di atas lantai. Mario menerangkan satu persatu materi yang menurut Bintang tak mengerti. Mario menyuruh Bintang untuk mengerjakan soal-soal yang ia tulis di buku Bintang. Seperti layaknya murid yang baik, Bintang mengangguk saja setiap apa yang di perintahkan Mario kepadanya. Setelah satu jam berkutat dengan Trigonometri dan Mathematical logic, akhirnya mereka beristirahat.
“Lo mau minum apa?”
“Apa aja.”
“Air putih?”
“Boleh.”
Mario melangkah keluar kamarnya menuju dapur mengambil makanan dan minuman, sedang Bintang asyik berpetualang dengan isi kamar Mario. Bintang memandangi foto-foto kecil Mario bersama orang tuanya. Rasanya dia pernah bertemu dengan Mario kecil yang ada dalam foto ini. Dia menyentuh semua koleksi gitar milik Mario yang tergantung di dinding kamar.
Mario kembali ke kamar dengan membawa minuman dan snack. Mario membawa satu gelas air putih dan satu gelas orange juice serta keripik kentang.
“Ko gue minum air putih sedangkan lo minumnya jus?”
“Kenapa lo gak minta kalo mau?”
“Lo nawarinnya air putih.”
“Kenapa lo gak nolak?”
“Yaudah.”
Mereka menghabiskan minuman dan kerpik kentang satu toples penuh sehingga tak terasa waktu sudah menjelang malam. Bintang melirik jam tangannya, lalu membereskan buku-bukunya yang berserakan di lantai.Bintang menuruni tangga dan bergegas menuju pintu utama rumah untuk pulang. Bintang melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya. Ketiba tiba di rumah, Bintang mengintip lewat jendela yang ada di ruang tamu dan memandangi punggung Mario yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Bintang tersenyum gembira. Bintang berlari menaiki tangga untuk mengganti pakaiannya karena sebentar lagi jam makan malam bersama ayahnya telah tiba.
Ketika Bintang menghabiskan makan malamnya, Bintang bertanya pada ayahnya. “Pah tau gak sih sama penghuni rumah di depan kita? Bintang menatap ayahnya menunggu jawaban yang pasti. “Pak Hanggara maksud kamu?” Ayahnya masih mengaduk-ngaduk sisa kuah sotonya. “Ayah tahu?” Bintang mengernyitkan dahinya, dia tidak mengetahui siapa pak Hanggara itu. “Bukankah dia sudah 17 tahun tinggal di sini? Papah rasa anaknya juga seumuran dengan kamu, mungkin teman kecilmu juga.” Bintang terdiam kaku, otaknya terus berpikir, mengapa dia tidak pernah tau tentang Mario? Bintang menelan ludah.
*
Bintang duduk di lantai lapangan basket di temani Mario. Bintang membuka ranselnya dan mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tasnya.
“Lo pasti haus.” Ucap Bintang seraya memberikan botol minuman itu kepada Mario.
“Thanks.” Mario menerima minuman tersebut dan tersenyum tipis.
Hari sudah menjelang sore, mereka pun pulang meninggalkan lapangan basket dan berjalan menuju rumah mereka. Setiap hari Rabu dan Kamis mereka akan selalu berangkat sekolah bersama dan tentunya pulang sekolah pun bersama-sama. Mereka sama-sama mengikuti ekskul pada hari tersebut. Hari ini seperti biasa Bintang menunggu Mario sampai selesai latihan.
“Rio hidung lo ko berdarah, jatuh dimana?”
“Tadi kelempar bola.”
“Sini gue bersihin darahnya”
“Terserah.”
Bintang mengelap hidung Mario yang berdarah dengan beberapa helai tisyu.“Thanks.” Mario menatap Bintang dalam dalam, seakan akan ingin masuk ke dalam dua bola mata yang hitam itu, dua bola mata yang sinarnya redup sehingga terlihat sayu.
Setelah selesai mengobati Mario, akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan mereka. Tiba-tiba Hujan mengguyur kota Bandung, mengguyur mereka berdua.“Gue bawa payung.” Bintang mengeluarkan payung dari ranselnya. “Tas lo serba ada.” Mereka pun tertawa bersama. Hujan semakin deras dan mereka masih setengah perjalanan menuju rumah. Lalu Mario melepaskan jaket yang di kenakannya dan mengenakannya di punggung Bintang. “Lo pasti kedinginan.” Mario megucapkannya dengan datar. “Thanks.” Bintang tersenyum manis kepada Mario.
Bintang mengantarkan Mario sampai depan rumahnya. “Ini jaket lo.” Bintang mencoba melepaskan jaket yang di kenakannya. “Buat lo aja.” Mario berlari masuk ke dalam rumahnya dan Bintang masih berdiri di sana. “Hujan, hari ini kau memberikan rasa kebahagiaan, yang aku pun tak tau mengapa.”
*
Kringgggg......... Hari ini Bintang kesiangan, Mbok Rumi lupa membangunkannya, sedang jam wekernya entah mengapa tak berbunyi. Bintang berlari menuju koridor sekolah dan sempat berhenti di mading lalu hendak pergi menuju toilet. Rasa sakit perut yang tiba-tiba datang begitu saja membuat Bintang sedikit menderita. Bintang terhenti ketika dia belum sampai di toilet, dia berpapasan dengan Mario yang sedang menenteng beberapa buku. “Lo kenapa?” Mario terheran-heran melihat wajah Bintang yang pucat. “Gue sakit perut.” Bintang memaksakan senyumannya dan langsung melanjutkan perjalanannya menuju toilet. Mario mengikuti Bintang menuju toilet, dia berhenti ketika Bintang masuk ke dalam salah satu kamar toilet perempuan. Semua perempuan yang masuk ke dalam kamar mandi tak henti menatap wajah Mario yang sedang berdiri di depan pintu toliet. Mario tak peduli dengan semua itu,ia malah balas menatap tajam permpuan-perempuan yang cekikikan menertawakannya.
Setelah keluar dari toilet, akhirnya Bintang dan Mario duduk bersama di sebuah kursi taman. Banyak orang yang berlalu lalang di depan mereka. Ada yang menatapnya tidak suka, ada yang tersenyum salah tingkah, dan ada pula yang terlihat biasa saja. Bintang memakluminya karena dia tahu Mario adalah salah satu cowok famoust di sekolah. Namun terkadang wajahnya yang flat, bahasa tubuhnya yang dingin, tatapan matanya yang serius membuat sekian banyak perempuan menyerah begitu saja. Banyak siswi-siswi perempuan yang menyimpan surat cinta mereka di loker Mario atau menyimpan bunga yang akhirnya di biarkan sampai kering di kolong meja Mario oleh Mario sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Mario cocok dengan Carissa dikarenakan sama sama famoust, sama-sama cantik dan tampan. Tapi Bintang tak pernah tahu siapa perempuan yang Mario suka. Apa Mario selalu menolak perempuan yang menyukainya? Entahlah Bintang tak pernah mengetahuinya. Bintang merasa tak ada perempuan yang bisa membuat hatinya luluh. Bintang berharap dia bisa masuk dalam hatinya dan memilikinya untuk selamanya.
*
Sudah satu tahun berlalu, Bintang kini duduk di kelas 2 bangku SMA. Bintang masih bisa mengingat kembali ketika dia pertama kali menginjakan kakinya di sekolah ini. Rasanya baru kemarin dia mengikuti kegiatan masa orientasi siswa(MOS). Bintang memejamkan matanya dan sesekali mendongak ke atas langit menatap langit biru. Mengapa hari ini tidak ada gerimis? Mengapa hari ini tidak ada pelangi?
“Gue udah nyimpen perasaan ini satu tahun. Entah kenapa banyak cowok yang gue tolak, rasanya gue belum bisa .. gue suka sama Mario.”
“Gue ngerti.”
“Selama ini gue hanya tau dia dari cerita-cerita yang lo ceritain ke gue aja. Gue juga pengen milikin dia, lo bantuin gue yah?”
Bintang terdiam. Apa yang di katakan Carissa barusan membuatnya terdiam kaku. Bintang berdiri meninggalkan Carissa yang masih terlentang di atas bukit. Bintang pulang menuju rumahnya. Ketiba tiba di depan rumahnya Bintang berpapasan dengan Mario. Bintang memalingkan wajahnya dan bergegas membuka pagar lalu masuk ke dalam rumahnya. Bintang membuka pintu kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kenapa hati ini begitu sakit? Kenapa Carissa harus mengatakan hal itu? Mario ... gue takut kehilangan lo.. Bintang melepaskan butir-butir air matanya yang kian lama terus membasahi pipinya.
*
Terik matahari membakar kulit dua insan itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah mereka, mereka hanya diam. Bintang sesekali melap keringat yang bercucuran di wajahnya denngan tangannya sendiri. Mario hanya diam melihat semua yang dilakukan Bintang, dari mulai menggigit bibir,meremas-remas tangan, menyapu keringatnya padahal sudah tak ada keringat yang menempel di kulitnya,dia mengetahui bahwa Bintang sedang dalam keadaan gugup atau nervous.
“Mario ada yang mau gue omongin.” Bintang menatap lurus jalan yang ada di depannya.
“Apa?” Mario mngucapkannya seakan tidak ingin bertanya.
“Carissa suka sama lo.” Bintang mencoba mengucapkan kalimat itu meski terasa sakit.
“Lalu?” Mario menatap Bintang seakan akan mencari tahu di balik dua bola matanya.
“Dia pengen jadi pacar lo?” Bintang mencoba terlihat biasa saja.
“Lo pengen gue jadi pacar Carissa?” Mario berucap datar.
“Gue harap lo mau.” Bintang menarik napas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Mario yang berdiri di depan rumah Bintang. Bintang masuk ke dalam rumahnya dan berlari menaiki tangga membuka pintu kamarnya dan duduk di balik pintu kamarnya. Dia memejamkan matanya dan meremas-remas tangannya. Rasanya ia sulit bernapas, sehingga seluruh anggota tubuhnya terasa sakit, merasakan apa yang ia rasakan. Bintang tak tahu kenapa ia harus menangis, kaena toh sebenarnya dia tak berhak untuk menangis.
*
Sudah dua minggu berlalu Bintang tak mengobrol ataupun bertegur sapa dengan Mario. Dia tak lagi satu tempat duduk dengannya, karena tempat duduk mereka selalu di rolling satu minggu sekali. Bintang malas melihat Mario apalagi Carissa yang setiap bertemu pasti bercerita tentang Mario. Dia selalu pura-pura tidak melihat atau membuang muka ketika berpapasan dengan Mario dan Carissa. Bintang benar-benar menjauhi Mario dan Carissa. Rasanya begitu sakit harus melihat mereka berjalan berdua atau hanya sekedar terlihat mengobrol. Dia benci pemandangan tersebut. Apalagi kalo Bintang harus melihat Mario yang membonceng Carissa di saat pulang sekolah. Meski bintang menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa Mario yang tak berhak untuk bertindak seperti itu, tapi Bintang merasa hatinya begitu sakit ketika Carissa benar-benar memiliki Mario. Mengapa dia tidak mendapatkan apa yang di dapatkan Carissa? Carissa nyaris sempurna sebagai seorang perempuan, dia cantik, pintar,kaya, famoust dan baik. Rasanya dunia tak adil bagi Bintang, dia tak begitu cantik, dia lemot dalam hitungan, keluarga yang sederhana dan hubungannya tak harmonis, tak banyak orang yang mengenalnya karena dia bukan siswi yang senang ikut berorganisasi seperti Carissa yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Akhirnya aku pun harus mengalah terhadap keadaan. Menerima semua yang terjadi meskipun aku tak pernah menginginkannya. Aku berhenti untuk mengharapkanmu, membiarkanmu berlalu seperti angin. Tanpa rasa yang pasti aku melepaskanmu pergi. Seandainya aku boleh memilih untuk tidak ingin memilikimu, dan tuhan membuatmu menjadi hal biasa saja untuku. Rasanya semuanya menyakitkan buat aku, membuat aku terjatuh, lunglai, tak berdaya. Tak cukup aku berteriak, tak cukup aku menangis... Mario apakah kau mengerti perasaanku ....
*
Akhirnya Bintang tiba di tempat yang selama ini ia banggakan, yakni Puncak yang bertempat di daerah kawasan Cianjur-Bogor. Hari ini adalah liburan akhir tahun yang di adakan oleh sekolah. Bintang menyeret dua kopernya menuju Villa. Tiba-tiba Carissa memeluk Bintang yang datangnya entah dari mana. Bintang terkejut. Mengapa Carissa tiba-tiba memeluknya? “Bintang gue kangen sama lo, gue pengen kita liburan bareng di sini, maafin gue kalo selama ini nyuekin lo.” Bintang melepaskan pelukan Carissa, dia tersenyum seraya berkata “Maafin gue juga.”
Malam hari tiba saatnya untuk acara bakar ikan di halaman belakang Villa. Semua anak-anak menyalakan api unggun dan bergembira ria bernyanyi bersama-sama. Kecuali Bintang yang hanya diam menyaksikan mereka semua dari kejauhan. Bintang duduk di atas rumput dan mendongak ke atas langit. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya dan ikut mendongak ke atas langit.
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit.?”
“Ngapain lo di sini?”
“Terserah gue. Kenapa lo harus jauhin gue?”
Bintang terdiam dan mengarahkan pandangannya ke semua anak-anak yang sedang berkumpul di halaman belakang. Mario berdiri dan menatap Bintang lekat-lekat. “Maafin gue, gue pengen kita tetep temenan kaya dulu.” Bintang hanya menunduk tak berani menatap Mario. Bintang beranjak dan akan kembali ke kamarnya. Dia ingin istirahat, dia tak mau memikirkan Mario.
Bintang membuka pintu kamarnya dan mendapati Carissa sedang duduk di jendela kamar. Mereka saling berpandangan lalu saling melempar senyum. Bintang mendekat kepada Carissa dan membelai rambut panjang nan indah itu.
“Lo suka gak sih sama Mario?” Carissa menatap wajah Bintang.
Bintang tersenyum “Banyak perempuan yang menyukainya.”
“Gue cape, selama ini gue tak pernah tau apa yang sedang gue pertahanin. Lo tau gak berapa kali kita kontekan dalam satu hari? Kita juga pernah nggak kontekan selama 3 bulan. Tak ada yang istimewa dalam hubungan kami, tapi mengapa aku berat untuk melepaskannya?”
Bintang terdiam setelah mendengarkan pengakuan Carissaa. Dia tak ingin berpikir banyak untuk saat ini. Dia memilih untuk tidur meski sulit memejamkan matanya.
*
Pagi yang cerah Bintang berjalan menysuri kebun teh. Dia merasakan udara segar menyapanya di pagi hari ini. Tiba-tiba kakinya terpeleset sehingga ia pun terjatuh ke tanah. Bintang meringis menahan rasa sakit akibat luka di kakinya. Lalu dari arah kejauhan tampak seorang laki-laki berlari menghampiri Bintang. Laki-laki tersebut membantu Bintang berdiri dengan merangkul pundaknya. “Thanks.” Bintang mengucapkannnya dengan ragu dan tak berani menatap wajah laki-laki itu.
Setelah tiba di Villa, mereka berpapasan dengan Carissa dan Doni. Namun mereka tetap melanjutkan langkah kaki mereka menuju kamar Bintang. Bintang duduk di ranjangnya dan menatap laki-laki itu secara perlahan-lahan. “Gue sayang sama lo.” Ucap laki-laki itu dengan mantap. Gue juga, jawab Bintang dalam hati. Bintang menatap laki-laki itu yang berjalan membelakanginya lalu terhenti tepat di pintu kamar. Di sana berdiri seorang perempuan yang menatap Bintang tanpa henti. Bintang menunduk tak berani mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. “Kita putus ya Carissa.” Perempuan itu menarik napas dalam-dalam “Oke kalo itu yang lo mau.” Bintang terdiam memandangi mereka yang pergi meninggalkan dia seorang diri di kamarnya. Bintang kembali menatap kakinya yang masih mengeluarkan tetesan darah segar. Oh Tuhan apa yang telah terjadi?
*
Bintang menatap Mamanya yang masih terdiam sedari tadi. Teh yang ada di hadapan mereka sudah berubah menjadi dingin. Lalu Mama memulai pembicaraannya dengan menatap mata Bintang lekat-lekat.
“Mama minta maaf sebelumnya karena Mama harus mengatakan yang sebenarnya. Mama lelah harus terus menyembunyikannya, harus terus pura-pura seolah-olah tak terjadi apa. Mama sudah tak mampu mempertahankan keluarga ini. Mama rasa ini keputusan terbaik untuk Mama sama Papamu. Maafkan Mama.” Mama pun mulai menangis. Bintang memeluk Mamanya dengan erat, dan mereka pun menangis bersama.
Satu kenyataan yang harus Bintang terima adalah bahwa keluargannya sudah tak utuh lagi dan kekosongan yang selama ini rasakan memang berakhir pada titik puncak dimana kekosongan itu akan terjadi selamanya dalam hidupnya. Bintang akan tinggal di Jakarta bersama Papanya, sedangkan Mamanya tetap di Bandung untuk tetap mengurus pekerjaannya. Bintang sedih harus meninggalkan kota kelahirannya ini, kota yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Bintang. Dia duduk dan menatap sebuah danau kecil yang airnya hampir surut, kini telah tiba musim kemarau dimana dia tak akan dapat menemukan gerimis dan pelangi lagi. Tuhan mengapa semuanya terjadi tanpa aku mau? Apakah aku tak berhak memiliki mereka, yakni orang-orang yang aku sayangi? Mario duduk di samping Bintang menatap matanya dalam-dalam. Mario memeluk Bintang erat dan membiarkan Bintang menangis di bahunya. Mario merangkul pundak Bintang dan menatap matanya dalam-dalam.
“Gue gak mau lo sedih, karena gue juga bakal sedih. Selama ini gue selalu mencoba untuk berdamai dengan kesedihan. Gue gak mau orang-orang yang sayang sama gue ikut sedih karena gue. Mereka adalah orang yang berbaik hati nan tulus yang menyayangi gue selama 12 tahun. Gue terkadang sedih ketika gue selalu merepotkan mereka. Dari kecil gue sering sakit-sakitan jadi gue berubah jadi anak rumahan yang nggak pinter bergaul, yang di bilang anak aneh sama semua orang.”
“Lo pasti menyimpan banyak kesedihan?”
“Kesedihan itu udah jadi kebahagiaan buat gue.”
Mario , kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu.Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam- diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu- malu.

Satu taun berlalu, Bintang berjalan di sebuah kompleks perumahan yang sepi. Bintang tak pernah merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya. Semuanya masih terasa sama, bahkan tak ada sedikit pun yang berubah. Bintang menghampiri seorang wanita yang hendak menutup pagar.
“Maaf bu, apakah ini rumahnya Mario Hanggara?”
“Silakan masuk dulu ke dalam.” Ibu itu membukakan pagarnya dan menyuruh Bintang masuk ke dalam rumahnya. Lalu Bintang duduk di sebuah sofa kecil sambil menatap ke sudut-sudut rumah yang terlihat sepi.
“Nak Bintang, Mario sudah pergi satu tahun yang lalu.” Bintang tercekat, nafasnya tiba-tiba berubah menjadi sesak. Apakah ia tak salah dengar? Apakah ibunya Mario sedang bergurau? Apakah dia sedang bermimpi?
“Mario pernah menitipkan benda ini untuk diberikan kepada seorang gadis yang bernama Bintang. Dia mengatakan bahwa suatu saat nanti gadis itu akan datang mencarinya. Ibu rasa benda ini ditujukan untuk kamu karena selama ini ibu menunggu gadis yang akan datang ke rumah ini.”
Setelah menerima benda itu Bintang berpamitan kepada sang Ibu untuk pulang. Bintang berjalan menuju rumahnya yang sudah lama ia tinggalkan , dia membuka pagar dan berdiri disana. Dia kembali mengingat satu tahun ke belakang ketika Mario berdiri di sana untuk berangkat bersama ke sekolah. Bintang tak percaya kini semuanya tinggal kenangan, kenangan yang paling berarti bersama Mario.
Bintang membuka pintu kamarnya dan duduk menghadap ke jendela. Bintang perlahan membuka kotak yang di berikan ibu Mario tadi. Sebuah buku tergelatak di sana. Bintang meraih buku itu dan perlahan mencoba untuk membukanya.

*Gadis itu bernama Bintang, aku menatapnya dengan tajam ketika dia berdiri di depan mading. Dia adalah teman sebangku ku untuk tahun ini, tahun pertama aku masuk SMA. Dia lumayan baik, setidaknya dia tak seperti kebanyakan orang sebelumnya yang malas berhadapan dengan aku yang sering di panggil anak aneh. Matanya yang bulat yang entah mengapa memberi sedikit kehangatan saat setiap kali aku menatap wajahnya. Hari ini aku mengembalikan bukunya yang tertinggal di kantin. Dia selalu menatapku malu-malu dan penuh ragu. Dia begitu canggung denganku, namun aku tak pernah menemukan rasa tidak suka di wajahnya kepadaku, setidaknya aku mempunyai seorang teman saat ini.
*Dia adalah gadis kecil yang pernah aku ejek namanya dahulu. Dia adalah teman terakhirku saat aku masih duduk di bangku dasar kelas 2. Sejak aku mengetahui bahwa aku mengidap sebuah penyakit yang sangat parah, aku tak pernah menatap wajah gadis kecil itu lagi. Tapi hari ini dia duduk  di sampingku di lapangan basket. Kami memang menjadi dekat entah kenapa. Kami sering pulang bersama, belajar bersama, berangkat sekolah bersama, ataupun bermain di depan danau sambil berayunan. Aku merasa sebagian jiwaku begitu hidup. Aku tak pernah menghirup udara luar, karena aku tak mau penyakit ini kambuh dan berubah menjadi lebih parah lagi. Namun akhir-akhir ini hidungku selalu mengeluarkan darah. Dia pernah menyeka darah yang mengalir dari hidungku, aku bahagia karena dia begitu baik padaku.
*Aku menyukainya dari pertama aku bertemu dengannya, meski aku tak pernah mengatakannya.Dia menyuruhku untuk menjadi pacar Carissa. Hari ini Carissa nembak aku, dan aku tak menjawabnya. Sejak itu dunia kembali berubah seperti dulu, Bintang menjauhiku. Penyakit ku kembali menyerang tubuhku, rasanya tubuhku terlalu lemah saat ini. Mungkiin Bintang membenciku,  karena Carissa menjadi pacarku. Jujur, aku tak pernah ingin dia pergi dari hiudpku.
*Dia akan pergi meninggalkan kota Bandung, meninggalkan kesedihannya selama ini. Aku merangkul pundaknya untuk terakhir kali. Dia telah menjadikan hidupku lebih berarti. Bintang .... aku menyayangimu, selamanya. Terima kasih kau telah memberikan ku cahaya di sisa akhir hidupku ....
FOR YOU, FOR LOVE .. BINTANG
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit?” Karena telah ada bintang yang terindah yang kini ada di sampingku.
“For you for love, Mario” Bintang meletakan seikat bunga lili di atas makam Mario.Thanks Rio, kamu udah jadi teman yang begitu berarti sampai saat ini.Aku tak akan pernah melupakanmu sedikit pun. Selamat tinggal Mario, aku mencintaimu. Aku hanya berani mengatakannya sekarang, setelah kau pergi selamanya. Biarkan aku hidup bersama cintamu di sini.Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu- abu. Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan… 
        Angin malam berhembus kencang menerjang lapisan kulit setiap insan yang merasakan meski rembulan tampil dengan bulat sempurna meski bintang-bintang terang benderang menghiasi malam, namun pemandangan tersebut tak turut menghibur hati Jono yang
sedang padam bagai tersiram air yang deras.
Jono adalah seorang pria yang sedang berkepala lima akan tetapi satu persatu anaknya pergi meninggalkan Jono dan istrinya, mereka tidak tahan dengan kondisi ekonomi keluarganya.

Jono termenung tak berdaya, pandangannya kosong yang di pikirnya hanya satu bagaimana ia mendapatkan uang dan tidur pulas di rumah bersama Tini istrinya dan Riko anaknya yang masih tersisa, ia tak berani pulang ke rumah dengan tangan hampa sebab jika pulang ia hanya mendapatkan cacian dari sang istri bahkan ia di suruh tidur di luar rumah, sebenarnya Jono tak tahan lagi atas perlakuan Tini, namun apa daya nasi telah menjadi bubur padahal sejak masih menjadi kekasihnya ,Ibu Jono melarang Jono berhubungan dengan Tini,Ibu Jono tidak suka dengan sikap Tini yang sombong dan tak sopan itu akan tetapi Jono memperdulikannya, ia hanya ingin menikah dan membangun keluarga baru bersama istrinya yang cantik yaitu Tini dan kini hanya ada penyesalan yang mendalam yang di rasakan seorang pria yang selalu memakai kaca mata minues, selain hidupnya sengsara,ia pun sudah di coret dalam buku harta warisan orang tuanya,bahkan ia menikah tanpa restu dan kehadiran sang Ibu yang dulu di sayangnya.

Dua jam berlalu, Jono masih dalam posisinya, duduk dan memandangi bintang di langit berharap bintang itu jatuh kemudian ia dapat berdoa agar seseorang dapat membantu kesusahannya.Dua jam yang tak sia-sia tiba-tiba benda asing jatuh dari langit,melihat peristiwa tersebut sontak membuat Jono terkejut, ia beranggapan bahwa benda asing itu adalah sebuah bintang yang jatuh dari angkasa,tanpa pikir panjang Jono segera memanjatkan doanya.
“wahai bintang yang jatuh bantu lah aku dari kesusahan ini, berilah jalan keluar untuk ku”,harapannya yang keluar dari mulut manisnya, meski ia masih percaya dengan Tuhan.
Selang beberapa menit, suara handphone yang di ikat kuat menggunakan gelang karet di permukaannya berbunyi dengan nada yang beraturan, senyum lebar terpasang di bibirnya namun memori otaknya masih mengingat istri dan anaknya.
“semoga saja ini berita baik untuk ku”,ucapnya dalam hati.
Tangan kanannya yang semula memegang permukaan kursi kini beranjak naik merangkul benda kotak kecil itu di saku bajunya, sebuah pesan singkat dari seseorang yang tak asing dipikirannya.
JONO TOLONG PULANG KE RUMAH, IBU MU SAKIT PARAH
Melihat pesan tersebut ekpresi wajahnya mendadak berubah,aliran darahnhya seakan-akan tak mau mengalir,jantung terasa teriris belati tajam,tak terasa butir-butir air mata menetes,menetes,dan terus menetes hingga kini ia di banjiri tangisan,doanya yang sudah ia ucapkan berbalik menjadi bumerang untuk hidupnya.
“wahai bintang !,mengapa kau kabulkan doa yang bukan aku harapkan,mengapa kau tega kepada ku?,menambah beban di hidup ku”,protesnya seraya membentangkan kedua tangannya,wajahnya menatap ke atas langit memberi ekpresi kesal, seolah tak terima dengan berita buruk yang telah ia dapatkan.

Derai air mata yang pada saat itu terus mengalir membasahi pipinya,mengingatkannya saat ia membuat segores luka di hati ibu nya, mendorong sang ibu hingga terjatuh dan akhirnya Ayah mengusirnya bersama istrinya,mungkinkah ini balasan untuk ku ?, ataukah buah dari perbuatan ku selama ini kepada Ibu,pikirnya dalam hati.
Akhirnya ia bergegas menuju rumah orang tuanya yang sangat membutuhkan kehadirannya,ia tak peduli nanti jika ibu nya tak menerima kedatangannya,asalkan ia bisa bertemu dengan ibu,dan ibu nya lah saja.

Sepeda besi berkarat yang setia menemani kemana Jono pergi itu di kayuhnya,berkilo-kilo meter jarak yang ia tempuh,keringat terus mengguyur seluruh tubuhnya,lelah pun di rasakan oleh seorang anak yang merindukan sosok ibu, namun semua itu terbayar ketika ban kendaraan tak bermesin itu berhenti tepat di sebuah rumah yang sangat megah, rumah itu milik keluarga besar KURNIAWAN, rumah yang menemaninya hampir dua puluh tahun,pintu gerbang yang biasa ia lewati menuju rumah, ayunan yang sejak kecil ia pakai untuk bermain, kursi bercat putih yang tidak berubah tampilannya yang dulu ia pakai untuk sekedar duduk-duduk saja, kini membawanya ke dunia masa lalu, masa lalu yang indah dimana ia selalu di peluk oleh ibu,dimana ibu dan ayahnya selalu memberi senyuman indah untuknya.Dari balik pintu terlihat sosok manusia yang berbadan gemuk,berkaca mata,dan berambut pelontos melemparkan satu senyuman manis tepat mengenai Jono.
“Ono kesini lah nak, ayah dan ibu merindukanmu”,rayu sang ayah seraya membentangkan tangannya berharap sang anak memeluk dirinya.
“ayah,maafkan jono, jono menyesal telah berbuat seperti ini”,balasnya dengan nada yang tak jelas akibat isak tangis yang memburu kemudian memeluk tubuh ayahnya.
“sudahlah jono jangan kau sesalkan perbuatan mu dulu karena itu sudah ayah lupakan,ayah dan ibu sudah memaafkan mu, ayah dan ibu juga meminta maaf karena sudah mengusir mu”,jawab ayah seraya mengelus punggungnya.
Perbincangan ayah dan anak tersebut terdengar oleh seorang wanita tua yang tertutupi oleh uban di rambutnya.
“ayah di luar ada siapa ?”,tanya ibu dengan suara serak sesekali ia batuk.
Pandangan Jono tertuju ke arah Ayah, setelah pandangannya dan pendengarannya mengarah ke pintu rumah.
“itu ibu nak,ayo lah masuk ke dalam, bertemu lah dengan ibu mu, ibu sangat merindukan mu”,ajak sang ayah kepadanya
“nanti saja yah, Jono belum siap untuk bertemu ibu, mungkin besok Jono datang bersama keluarga”,ujar Jono seraya memegang tangan ayah.
“baiklah,ayah mengerti ya sudah pulanglah nak,istri dan anak-anak mu mungkin mengkhawatirkan mu”,ucap ayah memberi satu lagi senyuman manis.

Akhirnya Jono pulang dan kembali ke rumahnya dengan rasa senang,tenang dan nyaman meski Jono masih belum bertemu dengan ibunya setidaknya ayah masih menyambutnya dengan ramah. Ditengah perjalanan ia dikejutkan dengan temuan benda asing, benda asing yang berbentuk botol itu memaksa ban sepeda jono berhenti untuk kedua kalinya, rasa ingin tau nya muncul dipegangnya botol itu oleh jono kemudian penutup botol itu terbuka ketika jono memaksakan tangannya untuk membuka, tiba-tiba dari botol itu keluar asap tebal yang menutupi seluruh pandangannya, namun ketika asap itu sedikit demi sedikit menghilang pandangan jono tertuju pada sosok orang yang berpostur tinggi jenggotnya dipenuhi uban penampilannya pun sangat membingungkan jono.
“siapa kau!.”ujar jono mengangkat telunjuknya kearah orang asing itu.
“hahaha...,aku adalah jin dari timur tengah, karena tuan telah menyelamatkan hamba, hamba beri satu permintaan, apa saja yang tuan minta hamba akan kabulkan, hahaha... .”jawab jin itu puas.
Mendengar penjelasan jin, jono seolah tak percaya namun apa salahnya jika mencoba, pikirnya.
“baiklah jika kau bisa kabulkan permintaan ku aku akan percaya padamu jika tidak kau berarti hanya seorang pembual.”
“memang apa permintaan mu wahai tuan ku?.”
“aku ingin kembali ke dua puluh tahun lalu itu saja permintaan ku wahai mahluk halus.”
“Wahai tuan ku !, maaf kan aku jika aku lancang, aku hanya ingin tahu dibalik permintaan mu itu, sungguh aku tak mengetahui maksud permintaan mu.”
“wahai jin !,jika kau kabulkan permintaan ku nanti, di masa lalu itu aku ingin berubah dan lebih menghargai kedua orang tua ku termasuk ibuku.”
Mendengar jawaban jono, jin itu menangis dan akhirnya permintaan jono itu dikabulkan olehnya dengan memberi satu pesan kepada jono.

SESUNGGUHNYA PENYESALAN ITU AKAN DATANG SETELAH KITA BERBUAT SATU KESALAHAN, MAKA JANGAN LAH MELAKUKAN KEMBALI KESALAHAN ITU KARENA JIKA MELAKUKAN KEMBALI BERSIAPLAH UNTUK MENGHADAPI PENYESALAN.


THE END
Karamnya cinta ini
Tenggelamkanku
Di duka yang terdalam
Hampa hati terasa
Kau tinggalkanku
Meski ku tak rela


Andre masih termenung dengan beribu pikiran yang tidak menentu. Galau menghinggapinya. Ia menyadari benar kenapa ini terjadi dan menimpa dirinya. Ia tidak tau kenapa sampai terjadi cinta yang seperti ini. Cinta yang sudah lama menghinggapinya kini kandas. Benar kata orang bahwa terkadang, kita tak akan pernah bisa merasakan indahnya dicintai dengan tulus, jika kita tak pernah disakiti. Palagi saat Naff mengalunkan lagunya yang begitu mengena di hati.
Hingga saat ini pun Andre tidak tau harus bagaimana lagi. Begitu indah sekaligus begitu menyakitkan. Tidak pernah diduga sebelumnya. Hatinya telah terbagi dua.
“Tiara,” Andre berguman sambil memandangi foto Tiara. “Apakah pantas aku mendampingimu? Kemana perginya kamu, Tiara? Tidak sudikah kau temui lagi sosok Andre seperti yang dulu, seperti pertama kali kita bersendau gurau, melepas tawa kita masing-masing?” Andre terus memandangi foto Tiara. Foto saat Tiara begitu manjanya sambil memegang batang Flamboyan minta difoto lewat kamera handphone Andre. Ah, begitu cantik. Andre tersenyum. Ya, lebih baik tersenyum karena kadang seseorang lebih memilih tersenyum hanya karena tak ingin menjelaskan mengapa ia bersedih.

Memang sudah terlalu lama Tiara mengisi kehidupan Andre. Mengisi hari-hari dimana Andre merasa kosong pada saat itu mungkin hingga saat ini. Tapi mengapa disaat seperti ini disaat Andre mulai mengenal sosok cewek yang begitu super justru malah Retna muncul ? Ah memang sulit untuk mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang kita cintai, tapi lebih sulit lagi ketika kenangan bersamanya tak mau hilang begitu saja.
“Retna, bersediakah kamu menggantikan Tiara?” batin Andre tiba-tiba terusik oleh bayang-bayang Retna di benaknya. Terus bergejolak. Bertanya-tanya. Mencari tau kemana hatinya kini ingin berlabuh. “Mengapa begitu sulit menghilangkan jejakmu Tiara. Malah semakin melekat disaat Retna hadir untuk mengisi kekosongan hatiku”

Lamunan Andre buyar ketika handphonenya berbunyi. Ada panggilan masuk. Dilihatnya darimana panggilan masuk itu.
“Retna..” Andre cepat-cepat menjawab panggilan dari seberang sana. “Hallo, ada apa Retna?”
“Ndre, kamu ada dimana?”
“Di rumah. Ada apa Ret?” suara Andre menyelidik
“Boleh aku meminta sesuatu padamu, Ndre?” pinta Retna dari seberang sana.
“Apa itu?” jawab Andre sedikit penasaran
“Temani aku ke Toko Buku ya? Harus mau, Ndre. Soalnya aku harus mendapatkan sebuah buku yang begitu penting banget”
“Kok maksa sih…?” aku mencoba mengelak
“Iya harus maksa. Pokoknya aku jemput sebentar lagi. Kamu siap-siap ya Ndre. Pokoknya mau ga mau harus mau. Oke sebentar lagi kujemput…”
“Ta…tapi Ret….”
Sudah terputus hubungan telponnya. Tinggal Andre yang kelabakan harus berbenah diri cepat-cepat. Soalnya Andre baru bangun tidur. “Ayo tersenyumlah, Ndre dalam mengawali hari, karena itu menandakan bahwa kamu siap menghadapi hari dengan penuh semangat!” begitu batin Andre menghibur diri di depan cermin.

Mereka berjalan bergandengan. Sepanjang perjalanan jemari Retna tak lepas begitu erat menggenggam tangan Andre. Tiba-tiba darah Andre berdesir hebat. Mengalir ke segala penjuru hingga sampai ke otaknya. Mulai panas. Matanya mulai sedikit berkunang-kunang. Lamunannya menerawang jauh hingga Retna mencubit pipinya. Andre tersadar…
“Auwww…sakit Ret…!”
“Digandeng cewek cantik malah melamun, bukannya malah senang. Tuh semua cowok pada mencuri pandang kearah aku. Kamu gak cemburu?” Retna begitu percaya diri berada di samping Andre.
“Maaf, Ret. Aku terlalu bahagia berjalan bergandengan bersama kamu” kata Andre membesarkan hati Retna.
“Sungguh?”
“Iya, sungguh. Makanya tadi aku melamun”
“Hmm….aku tersanjung, Ndre. Aku nyaman berada di samping kamu, Ndre” disandarkannya kepala Retna di lengan Andre. Retna tersenyum. Ada gurat bahagia di wajah Retna. Gambaran cinta telah meronai wajah Retna. Dan semakin eratlah pegangan tangan Retna ke lengan Andre.
“Andre…” tiba-tiba suara Retna menyapa Andre.
“Iya, ada apa Retna?” Andre memandangi wajah Retna. Wajah yang begitu cantik, polos terpancar binar cinta. Ah, Retna apakah benar kamu pengganti cintaku yang hilang? Apakah benar kamu cewek super pengganti Tiara?
“Apakah cintaku gak bertepuk sebelah tangan?” pertanyaan Retna langsung ke lubuk hati Andre yang paling dalam.
“Apakah kamu merasa bertepuk sebelah tangan?” Andre malah balik bertanya. Retna balas memandang wajah Andre. Mencari tau mungkin ada jawaban yang membahagiakan hati Retna.
Andre tersenyum. Dibelainya rambut Retna dengan penuh kasih sayang. Diusapnya air mata yang akan menetes dari sudut mata Retna.
“Dicintai dan disayangi kamu adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan padaku” Andre memberanikan diri untuk mengucapkannya.
“Dalam hati aku menanti, kuserahkan hati sebagai tanda ketulusan cinta” jawab Retna dengan mata berkaca-kaca bahagia.

Andre terbuai dalam dekapan cinta Retna. Melupakan segala kekusutan hati yang selama ini terbelenggu oleh cinta Tiara. Tiara yang entah kemana perginya. Membawa separuh hati Andre. Separuh hidup Andre. Separuh aku. Kata Noah dalam lagunya. Padahal Andre masih tidak percaya kalau ia kini menjadi kekasih Retna. Retna dalam penilaian Andre kini adalah cewek super yang telah begitu hebatnya menggeser bayang-bayang Tiara. Menepis angan-angan bersama Tiara. Retnalah yang kini mengisi cerita-cerita di dalam kehidupan Andre. Bait demi bait iramanya begitu indah disenandungkan oleh hati. Ah, ini benar-benar sebuah cerita cinta. Sebuah romansa yang bisa membuat Andre melupakan Tiara.


Pagi itu, Andre dikejutkan oleh suara panggilan dari Handphonenya. Andre cepat-cepat membukanya. Dari siapakah gerangan. Dilihatnya panggilan masuk dihandphonenya.
“Tiara…” Andre setengah terpekik. Jantungnya lebih cepat lagi berdetak. Hampir tak terkontrol. Ia coba menguasai dirinya.
“Halo….” Jawab Andre.
“Halo! Ini Andre…?” suara dari seberang sana.
“I..iyya….ini Ara….?” Suara Andre terbata.
“Iya…Andre…kamu dimana?”
“Di kamar, Ra. Kamu kemana aja, koq menghilang begitu aja?” Andre mulai memberanikan diri bertanya.
“Andre…maukah kamu menjemput aku di Bandara?”
“Iyyaa Tiara….jam berapa…?”
“Sekarang….! pokoknya aku tunggu sampai kamu datang…!”

Sebenarnya pikiran Andre berkecamuk. Terlintas wajah Retna manakala Andre menyetujui pertemuannya dengan Tiara. Ada rasa bersalah dalam diri Andre terhadap Retna. Sebuah pertemuan yang telah lama diimpikannya. Wajah yang telah lama menghilang tiba-tiba akan muncul kembali. Tiara, cewek super idam-idaman Andre. Cewek super yang telah pertama kali menggores hati Andre. Ah, benar-benar Andre ada dipersimpangan. Entah akan kemana hati Andre memilih jalan dipersimpangan itu.

“Ara….!” Panggil Andre setelah lama mencari-cari Tiara di Bandara.
“Andre….!” Balas Tiara.
Mereka saling berpelukan. Erat. Seolah tidak mau lepas. Kerinduan yang lama terpendam kini terbayar lunas.
“Ara, kamu semakin cantik” puji Andre setelah mereka duduk melepas lelah di lobby Bandara.
“Kamu juga semakin ganteng, Ndre” balas Tiara.
Kedua tangan mereka tak lepas saling genggam. Sepanjang pertemuan itu mereka lebih banyak diam. Lebih banyak hanya hati mereka yang saling bicara. Degup jantung mereka semakin cepat berpacu. Semakin menambah kegugupan mereka. Hanya saling bergenggaman tangan. Andre mencoba membelai rambut Tiara.
“Ara, apakah kamu selalu memikirkan aku disaat kamu jauh dari aku?” Andre mencoba membuka pembicaraan.
Tiara masih terdiam. Kemudian ia pandangi wajah Andre. Wajah yang pernah menghiasai kehidupannya. Begitu indah semaraki hidup Tiara kala itu.
“Sampai saat inipun aku gak pernah melupakan kamu, Ndre”
“Lalu kenapa kamu meninggalkan aku dan pergi begitu saja tanpa aku tau kemana perginya”
Tiara tidak langsung menjawab. Ia tertunduk. Mengalihkan pandangannya dari wajah Andre. Banyak yang ingin ia ceritakan. Tapi rasanya berat untuk menceritakan hal ini kepada Andre.
“Karena aku terlalu mencintaimu, Andre. Banyak mimpiku tentang kamu. Mimpi tentang cinta. Dan pada akhirnya sekarang aku baru merasa bahwa kamu adalah cintaku yang sejati” Dari lubuk hati Tiara, ia ungkapkan perasaan itu kepada Andre.
Andre kini yang terdiam. Diam karena Andre merasakan beban yang begitu berat. Cinta yang terkadang selalu memberikan solusi yang sulit kita terima. Karena ketika jatuh cinta, jangan berjanji tak saling menyakiti, namun berjanjilah untuk tetap bertahan, meski salah satu tersakiti.
“Ara, saat ini mungkin aku bukan lagi Andre yang seperti dulu. Bukan lagi Andre yang bisa memberikan kenyamanan, memberikan ketenangan dalam meraih mimpi-mimpi manismu” kata Andre memberanikan diri sambil memandangi wajah Tiara.
“Tidak Andre. Kamu sempurna. Sempurna dalam hatiku. Dalam cintaku. Kamu yang telah menciptakan mimpi-mimpi manis tentang cinta dalam hidupku. Kamu yang telah banyak mengajarkan bagaimana cara meraih mimpi-mimpi”
“Berhentilah mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai, lebih baik belajar dan persiapkan diri menjadi seorang yang pantas untuk dicintai”
“Kamu sudah tidak mencintai aku lagi, ya Ndre?” dekapan Tiara makin erat di lengan Andre. Seolah tidak mau kehilangan. Andre kini semakin kacau. Kemudian ia coba menenangkan Tiara dengan membelai rambut Tiara. Mengusap air mata yang menetes di pipi Tiara.
“Bukan itu, Ara. Aku masih menyayangi kamu. Aku masih mencintaimu. Tapi aku tak bisa memilikimu”
Tiara bisa memahami arah pembicaraan Andre. Tiara melepaskan dekapan Andre. Mencoba tegar dan menghapus air matanya yang membasahi pipinya.
“Kalau boleh tau, siapa cewek yang telah berhasil menaklukkan hatimu, Ndre?” Tanya Tiara sambil mencoba tersenyum kepada Andre.
Andre memandangi wajah Tiara. Ia balas senyum Tiara. “Ara, meski tak dicintai oleh seseorang yang kamu cinta, tak berarti kamu merasa tak berarti. Hargai dirimu dan temukan seseorang yang tahu itu”
Tiara merenungi kata-kata Andre. Tiara merasa Andre telah lebih dewasa kini. Andre benar-benar telah menjadi guru yang terbaik dalam hidup Tiara. Guru yang telah mengajarkan bagaimana caranya meraih mimpi-mimpi.
“Andre, jika kamu tulus mencintanya, jangan pernah hiasi matanya dengan air mata, telinganya dengan dusta, dan hatinya dengan luka” kata Tiara
“Ya, aku sangat mencintainya. Dialah Retna. Cewek super dalam kehidupanku. Aku tak bisa menghianatinya, Ara”
Tiara mencoba tersenyum. Mencoba berbesar hati. Ia pandangi wajah Andre. ”Benar, Ndre karena orang yang pantas kamu tangisi tidak akan membuatmu menangis, dan orang yang membuatmu menangis tidak pantas kamu tangisi. Selama ini aku meninggalkan kamu karena aku ingin menguji diriku kira-kira siapa cinta sejatiku kelak.”.
“Kamu pasti akan menemukan orang yang pantas mendampingimu”
“Terima kasih, Andre. Aku pasti akan sulit melupakan kamu”
“Cobalah, Ara. Karena satu pelajaran penting tentang patah hati adalah jika dia mampu menemukan cinta yang baru, begitu juga dirimu!”
“Iya, Ndre. Sekali lagi terima kasih karena pernah mencintaiku. Salahku kenapa dulu aku tak mempedulikan mimpi-mimpimu. Sekarang aku akan pergi menjauh dari kehidupanmu”
“Kemana?”
“Aku akan kembali ke Australia melanjutkan studiku. Orang tuaku telah menaruh harapan pada diriku”
“Selamat jalan, Tiara”.

Tiara melepaskan dekapannya. Kemudian berjalan menjauhi Andre. Tak sanggup Tiara memandang wajah Andre karena telah basah oleh air mata. Entah bagaimana perasaan Tiara saat itu karena Andrepun hanya mampu berdiri. Diam sambil memandang tubuh Tiara yang semakin menjauh.
“Selamat jalan Tiara, jangan terlalu lama menangisi yang telah pergi, karena mungkin nanti kamu akan bersyukur telah meninggalkan yang kamu tangisi saat ini” begitu doa Andre kepada Tiara.

Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia meski tak bersamaku
Bila nanti kau tak kembali
Kenanglah aku sepanjang hidupmu…